"Ayumi
 dan Akio adalah sepasang kekasih yang serasi walaupun keduanya berasal 
dari keluarga yang jauh berbeda latar belakangnya. Keluarga Ayumi 
berasal dari keluarga kaya raya dan serba berkecukupan,sedangkan 
keluarga Akio hanyalah keluarga seorang petani miskin yang 
menggantungkan kehidupannya pada tanah sewaan.
 
 Dalam kehidupan 
mereka berdua, Akio sangat mencintai kekasihnya. Dia telah melipat 1000 
buah burung kertas untuk Ayumi dan Ayumi kemudian menggantungkan 
burung-burung kertas tersebut di kamarnya. Dalam tiap burung kertas 
tersebut Akio telah menuliskan harapannya kepada Ayumi. Banyak sekali 
harapan yang telah Akio ungkapkan kepada Ayumi. “Semoga kita selalu 
saling mengasihi satu sama lain”, ”Semoga Tuhan melindungi Ayumi dari 
bahaya”,”Semoga kita mendapatkan kehidupan yang bahagia”, dsb. Semua 
harapan itu telah disimbolkan dalam burung kertas yang diberikan kepada 
Ayumi. **
 
 
 Suatu hari Akio melipat burung kertasnya yang ke
 1001. Burung itu dilipat dengan kertas transparan sehingga kelihatan 
sangat berbeda dengan burung-burung kertas yang lain. Ketika memberikan 
burung kertas ini, Akio berkata kepada Ayumi :
 “Ayumi,  ini burung 
kertasku  yang ke 1001. Dalam burung kertas ini aku mengharapkan adanya 
kejujuran dan keterbukaan antara aku dan kamu. Aku akan segera melamarmu
 dan kita akan segera menikah. Semoga kita dapat mencintai sampai kita 
menjadi kakek nenek dan sampai Tuhan memanggil kita berdua !“
 
 
 
Saat mendengar Akio berkata demikian, menangislah Ayumi. Ia berkata kepada Akio :
 “Akio, senang sekali aku mendengar semua itu, tetapi aku sekarang telah
 memutuskan untuk tidak menikah denganmu. Kamu terlalu miskin, sungguh 
aku tidak berani membayangkan 
 bagaimana kehidupan kita setelah menikah..!! ”
 
 Saat mendengar itu Akio pun bak disambar geledek. Ia kemudian mulai 
marah kepada Ayumi. Ia mengatai Ayumi matre, orang tak berperasaan, 
kejam, dan sebagainya. Dan Akhirnya Akio meninggalkan Ayumi menangis 
seorang diri.
 
 Akio mulai terbakar semangatnya. Ia pun bertekad 
dalam dirinya bahwa ia harus sukses dan hidup berhasil. Sikap Ayumi 
dijadikannya cambuk untuk maju dan maju. Dalam Sebulan usaha Akio 
menunjukkan hasilnya. Ia diangkat menjadi kepala cabang di mana ia 
bekerja dan dalam setahun ia telah diangkat menjadi manajer sebuah 
perusahaan yang bonafide dan tak lama kemudian ia mempunyai 50% saham 
dari perusahaan itu. Sekarang tak seorangpun tak kenal Akio, ia adalah 
bintang kesuksesan.
 
 Suatu hari Akio pun berkeliling kota dengan
 mobil barunya. Tiba-tiba dilihatnya sepasang suami-istri tua tengah 
berjalan di dalam derasnya hujan. Suami istri itu kelihatan lusuh dan 
tidak terawat. Akio pun penasaran dan mendekati suami istri itu dengan 
mobilnya dan ia mendapati bahwa suami istri itu adalah orang tua Ayumi.
 
 Akio mulai berpikir untuk memberi pelajaran kepada kedua orang itu, 
tetapi hati nuraninya melarangnya sangat kuat. Akio membatalkan niatnya 
dan ia membuntuti kemana perginya orang tua Ayumi.
 
 Akio sangat 
terkejut ketika didapati orang tua Ayumi memasuki sebuah makam yang 
dipenuhi dengan burung kertas. Ia pun semakin terkejut ketika ia 
mendapati foto Ayumi dalam makam itu. Akio pun bergegas turun dari 
mobilnya dan berlari ke arah makam Ayumi untuk menemui orang tua Ayumi.
 
 Orang tua Ayumi pun berkata kepada Akio :
 ”Akio, sekarang kami jatuh miskin. Harta kami habis untuk biaya 
pengobatan Ayumi yang terkena kanker rahim ganas. Ayumi menitipkan 
sebuah surat kepada kami untuk diberikan kepadamu jika kami bertemu 
denganmu.”
 
 Orang tua Ayumi menyerahkan sepucuk surat kumal kepada Akio.
 Akio membaca surat itu.
 “Akio, maafkan aku. Aku terpaksa membohongimu. Aku terkena kanker rahim
 ganas yang tak mungkin disembuhkan. Aku tak mungkin mengatakan hal ini 
saat itu, karena jika itu aku lakukan, aku akan membuatmu jatuh dalam 
kehidupan sentimentil yang penuh keputus-asaan yang akan membawa hidupmu
 pada kehancuran.  Aku tahu tabiatmu Akio, karena itu aku lakukan ini. 
Aku mencintaimu Akio…. “
 
 Setelah membaca surat itu, menangislah
 Akio. Ia telah berprasangka terhadap Ayumi begitu kejamnya. Ia pun 
mulai merasakan betapa hati Ayumi teriris-iris ketika ia mencemoohnya, 
mengatainya matre, kejam dan tak berperasaan. Ia merasakan betapa Ayumi 
kesepian seorang diri dalam kesakitannya hingga maut menjemputnya, 
betapa Ayumi mengharapkan kehadirannya di saat-saat penuh penderitaan 
itu. Tetapi ia lebih memilih untuk menganggap Ayumi sebagai orang matre 
tak berperasan. Ayumi telah berkorban untuknya agar ia tidak jatuh dalam
 keputusasaan dan kehancuran.
Sumber: Halal-kan aku ayah 

Tidak ada komentar:
Posting Komentar